23/12/11

Menelusuri Sejarah Perjuangan Ranggong Daeng Romo


Ada yang belum kenal siapa itu yang bernama Ranggong Daeng Romo? Kali ini Icapila Daeng Kana dalam Sepotong Cerita Dari Pannyingkul Kota Makassar akan menyajikan satu sosok Pahlawan gagah Berani dari Kabupaten Takalar yaitu Ranggong Daeng Romo

Di tengah-tengah suasana perang melawan penjajah Belanda, lahirlah putra kesatria pejuang-pejuang bangsa dari Polongbangkeng Kabupaten Takalar. Sejarah perjuangan rakyat Indonesia yang sejak dulu dikenal sebagai basis Panglima LAPRIS, Ranggong Daeng Romo dan Pajonga daeng Ngalle Karaeng Polongbangkeng dikenal sangat gigih melawan penjajah Belanda bersama-sama para pejuang rakyat Polongbangkeng untuk merebut kembali kemerdekaan Indonesia, dengan tekad teguh “Senasib sepenanggungan berdasarkan semangat kekeluargaan “Se’re Pacce Se’re Siri’ Sipapappaccei Sipassiriki.”

Ranggong Daeng Romo dilahirkan pada tahun 1915, di suatu tempat yang dikenal oleh masyarakat dengan nama kampung Bone-Bone, Bate Moncokomba, Distrik Polombangkeng, Takalar. Ia adalah putra sulung dari enam bersaudara dari pasangan suami istri Gallarang Moncokomba, Mangngulabbe Daeng Makkiyo dengan Bati Daeng Jimo. Mereka adalah keturunan keluarga bangsawan kaya yang dermawan di Polombangkeng yang mempunyai tradisi kepahlawanan dalam membela dan mempertahankan kehormatan bangsa dan tanah air.

Sejak kecil, Ranggong Daeng Romo ditempa untuk menjadi anak yang berguna bagi masyarakat. Ia dimasukkan belajar pada pondok pesantren di Cikoang untuk memperoleh pendidikan ajaran Islam dan lanjut ke Sekolah Rakyat atau Inlandsche School. Setelah menyelesaikan pendidikannya di sekolah tersebut, ia hendak dimasukkan ke HIS, tapi karena pendiriannya yang teguh dan tidak menyukai sekolah milik Belanda, maka ia dimasukkan ke sekolah Partikulir atau Taman Siswa yang telah dikenalnya.

Setelah berhenti bersekolah, ia kembali ke Polombangkeng mendampingi orangtuanya dalam menjalankan roda pemerintahan sebagai Gallarang Moncokomba. Ketika ia berusia 18 tahun, ia dikawinkan dengan sepupunya yang bernama Bungatubu Daeng Lino, puteri Gallarang Bontokandatto, Tarasi Daeng Bantang pada tahun 1993. Sejak itu, ia membantu mertuanya yang juga pamannya dalam menjalankan tugas pemerintahan sebagai Gallarang Bontokandatto sampai pada masa pendaratan militer Jepang tahun 1942.

Pada masa pendudukan militer Jepang, Ranggong Daeng Romo bekerja pada perusahaan Jepang Naniyo Kuhatsu Kabusuki Kaisha (NKKK) yaitu perusahaan pembelian beras dari militer Jepang di Takalar. Ini merupakan upaya penyesuaian diri agar tetap dapat memperhatikan dan melindungi rakyat dari kekejaman penguasa militer Jepang.

Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, yang diumumkan oleh Soekarno-Hatta, atas nama seluruh bangsa Indonesia ke seluruh pelosok tanah air, maka atas persetujuan Karaeng Polombangkeng Pajonga Daeng Ngalle, Ranggong Daeng Romo termasuk salah satu yang memprakarsai berdirinya organisasi perjuangan di Polombangkeng, yang kemudian dikenal dengan nama Gerakan Muda Bajeng (GMB).

Organisasi perjuangan Gerakan Muda Bajeng ini dibentuk pada tanggal 16 Oktober 1945. Pada mulanya Ranggong Daeng Romo hanya diangkat sebagai komandan barisan penerjang/pertahanan untuk wilayah Moncokomba dan merangkap sebagai Kepala Wilayah (Bate) Ko’Mara. Karena keberhasilannya dalam mengemban tugas tersebut, maka pada tanggal 27 Februari 1946, Ranggong Daeng Romo diangkat menjadi komandan barisan penerjang Gerakan Muda Bajeng.

Pada tanggal 2 April 1946, GMB menjelma menjadi Laskar Lipan Bajeng, dan Ranggong Daeng Romo diangkat sebagai pucuk pimpinan. Kelaskaran Lipan Bajeng ini merupakan salah satu dari sekian banyak laskar perjuangan yang ada di daerah Sulawesi Selatan dan sekaligus merupakan salah satu wadah bagi rakyat dalam perjuangan menegakkan, membela dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Untuk mewujudkan rencana penyatuan kelaskaran-kelaskaran yang tersebar di setiap daerah dalam satu wadah, maka pada tanggal 17 Juli 1946, terbentuklah secara resmi organisasi gabungan kelaskaran yang dikenal dengan nama “Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS),” yang terdiri dari gabungan 19 organisasi laskar perjuangan dan Ranggong Daeng Romo diangkat sebagai Panglima LAPRIS (Ketua Bidang Ketentaraan/Kemiliteran).

Tanggal 21 Februari 1946 untuk pertama kalinya, Ranggong Daeng Romo memimpin langsung pertempuran dengan kekuatan kurang lebih 100 orang anggota pasukan menyerang kubu pertahanan musuh (Belanda) di daerah Takalar dan tanggal 28 Februari 1947 merupakan pertempuran terakhir yang dipimpin langsung oleh Ranggong Daeng Romo di bukit Lengkese, dimana ia sendiri gugur sebagai ksatria dalam pertempuran tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar