Tradisi penyambutan tamu kehormatan di Sulawesi Selatan sedikit berbeda dari daerah lainnya. Para tamu kehormatan tidak hanya disambut dengan pagar ayu atau pengalungan bunga, tetapi juga dengan Tari Patuddu ditarikan oleh dara-dara manis dengan mengenakan pakaian adat BajuBodo. Pada Zaman sekarang, tarian ini biasanya dimainkan oleh anak-anak Sekolah Dasar (SD) dengan menggunakan alat tombak dan perisai yang kemudian diiringi irama gendang. Oleh karena itu, Tari Patuddu yang memperagakan tombak dan perisai ini disebut juga tari perang. Disebut demikian karena sejarah tarian ini memang untuk menyambut para balatentara Kerajaan Balanipa yang baru saja pulang dari berperang.
Menurut sebagian masyarakat setempat, Tari Patuddu ini lahir karena sering
terjadi huru-hara dan peperangan antara balatentara Kerajaan Balanipa dan
Kerajaan Passokorang pada masa lalu. Setiap kali pasukan perang pulang, warga
kampung melakukan penyambutan dengan tarian Patuddu. Tarian ini menyiratkan
makna, “Telah datang para pejuang dan pahlawan negeri,” sehingga tari Patuddu
cocok dipentaskan untuk menyambut para tamu istimewa hingga saat ini.
Namun, ada versi lain yang diceritakan dalam sebuah cerita rakyat terkait
dengan asal-mula tari Patuddu. Konon, pada zaman dahulu kala, di sebuah daerah
pegunungan di Sulawesi Selatan (kini Sulawesi Barat), hidup seorang Anak Raja
bersama hambanya. Suatu waktu, Anak Raja itu ditimpa sebuah musibah.
Bunga-bunga dan buah-buahan di tamannya hilang entah ke mana dan tidak tahu
siapa yang mengambilnya. Ia pun berniat untuk mencari tahu siapa pencurinya.
Dapatkah Anak Raja itu mengetahui dan menangkap si pencuri? Siapa sebenarnya
yang telah mencuri buah dan bunga-bunganya tersebut? Ingin tahu jawabannya?
Ikuti kisah selengkapnya dalam cerita Asal-Mula Tari Patuddu berikut ini!
Alkisah, pada zaman dahulu, di daerah Mandar Sulawesi Barat, hiduplah seorang Anak Raja di sebuah pegunungan. Di sana ia tinggal di sebuah istana megah yang dikelilingi oleh taman bunga dan buah yang sangat indah. Di dalam taman itu terdapat sebuah kolam permandian yang bersih dan sangat jernih airnya.
Pada suatu hari, saat gerimis tampak pelangi di atas rumah Anak Raja. Kemudian
tercium aroma harum semerbak. Si Anak Raja mencari-cari asal bau itu. Ia
memasuki setiap ruangan di dalam rumahnya. Namun, asal aroma harum semerbak itu
tidak ditemukannya. Oleh karena penasaran dengan aroma itu, ia terus mencari
asalnya sampai ke halaman rumah. Sesampai di taman, aroma yan dicari itu tak
juga ia temukan. Justru, ia sangat terkejut dan kesal, karena buah dan
bunga-bunganya banyak yang hilang. “Siapa pun pencurinya, aku akan menangkap
dan menghukumnya!” setengah berseru Anak Raja itu berkata dengan geram. Ia
kemudian berniat untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang telah berani mencuri
bunga-bunga dan buahnya tersebut.
Suatu sore, si Anak Raja sengaja bersembunyi untuk mengintai pencuri bunga dan
buah di tamannya. Tak lama, muncullah pelangi warna-warni yang disusul tujuh
ekor merpati terbang berputar-putar dengan indahnya. Anak Raja terus mengamati
tujuh ekor merpati itu. Tanpa diduganya, tiba-tiba tujuh ekor merpati itu
menjelma menjadi tujuh bidadari cantik. Rupanya mereka hendak mandi-mandi di
kolam Anak Raja. Sebelum masuk ke dalam kolam, mereka bermain-main sambil
memetik bunga dan buah sesuka hatinya.
Anak Raja terpesona melihat kencantikan ketujuh bidadari itu. ”Ya Tuhan!
Mimpikah aku ini? Cantik sekali gadis-gadis itu,” gumam Anak Raja dengan kagum.
Kemudian timbul keinginannya untuk memperistri salah seorang bidadari itu.
Namun, ia masih bingung bagaimana cara mendapatkannya. ”Mmm...aku tahu caranya.
Aku akan mengambil salah satu selendang mereka yang tergeletak di pinggir kolam
itu,” pikir Anak Raja sambil mengangguk-angguk.
Sambil menunggu waktu yang tepat, ia terus mengamati ketujuh bidadari itu.
Mereka sedang asyik bermain sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya.
Mereka terlihat bersendau-gurau dengan riang. Saat itulah, si Anak Raja
memanfaatkan kesempatan. Dengan hati-hati, ia berjalan mengendap-endap dan
mengambil selendang miliki salah seorang dari ketujuh bidadari itu, lalu
disembunyikannya. Setelah itu, ia kembali mengamati para bidadari yang masih
mandi di kolam.
Setelah puas mandi dan bermain-main, ketujuh bidadari itu mengenakan selendangnya kembali. Mereka harus kembali ke Kahyangan sebelum pelangi menghilang. Pelangi adalah satu-satunya jalan kembali ke Kahyangan. Namun Bidadari Bungsu tidak menemukan selendangnya. Ia pun tampak kebingungan mencari selendangnya. Keenam bidadari lainnya turut membantu mencari selendang adiknya. Sayangnya, selendang itu tetap tidak ditemukan. Padahal pelangi akan segera menghilang.
Akhirnya keenam bidadari itu meninggalkan si Bungsu seorang diri. Bidadari Bungsu pun menangis sedih. “Ya Dewa Agung, siapa pun yang menolongku, bila laki-laki akan kujadikan suamiku dan bila perempuan akan kujadikan saudara!” seru Bidadari Bungsu. Tak lama berseru demikian, terdengar suara halilintar menggelegar. Pertanda sumpah itu didengar oleh para Dewa.
Melihat Bidadari Bungsu tinggal sendirian, Anak Raja pun keluar dari
persembunyiannya, lalu menghampirinya.
”Hai, gadis cantik! Kamu siapa? Mengapa kamu menangis?” tanya Anak Raja
pura-pura tidak tahu.
”Aku Kencana, Tuan! Aku tidak bisa pulang ke Kahyangan, karena selendangku
hilang,” jawab Bidadari Bungsu.
”Kalau begitu, tinggallah bersamaku. Aku belum berkeluarga,” kata Anak Raja
seraya bertanya, ”Maukah kamu menjadi istriku?”
Sebenarnya Kencana sangat ingin kembali ke Kahyangan, namun selendangnya tidak
ia temukan, dan pelangi pun telah hilang. Sesuai dengan janjinya, ia pun
bersedia menikah dengan Anak Raja yang telah menolongnya itu. Akhirnya, Kencana
tinggal dan hidup bahagia bersama dengan Anak Raja.
Beberapa tahun kemudian. Kencana dan Anak Raja dikaruniai seorang anak laki-laki. Maka semakin lengkaplah kebahagiaan mereka. Mereka mengasuh anak itu dengan penuh perhatian dan kasih-sayang. Selain mengasuh dan mendidik anak, Kencana juga sangat rajin membersihkan rumah.
Pada suatu hari, Kencana membersihkan kamar di rumah suaminya. Tanpa sengaja ia
menemukan selendang miliknya yang dulu hilang. Ia sangat terkejut, karena ia
tidak pernah menduga jika yang mencuri selendangnya itu adalah suaminya
sendiri. Ia merasa kecewa dengan perbuatan suaminya itu. Karena sudah menemukan
selendangnya, Kencana pun berniat untuk pulang ke Kahyangan.
Saat suaminya pulang, Kencana menyerahkan anaknya dan berkata, ”Suamiku, aku sudah menemukan selendangku. Aku harus kembali ke Kahyangan menemui keluargaku. Bila kalian merindukanku, pergilah melihat pelangi!”
Saat ada pelangi, Kencana pun terbang ke angkasa dengan mengipas-ngipaskan
selendangnya menyusuri pelangi itu. Maka tinggallah Anak Raja bersama anaknya
di bumi. Setiap ada pelangi muncul, mereka pun memandang pelangi itu untuk
melepaskan kerinduan mereka kepada Kencana. Kemudian oleh mayarakat setempat,
pendukung cerita ini, gerakan Kencana mengipas-ngipaskan selendangnya itu
diabadikan ke dalam gerakan-gerakan Tari Patuddu, salah satu tarian dari daerah
Mandar, Sulawesi Barat.
Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita teladan yang mengandung pesan-pesan
moral. Salah satu pesan moral yang terkandung di dalamnya adalah anjuran
meninggalkan sifat suka mengambil barang milik orang lain. Sifat yang tercermin
pada perilaku ketujuh bidadari dan Anak Raja tersebut sebaiknya dihindari.
Ketujuh bidadari telah mengambil bunga-bunga dan buah-buahan milik si Anak Raja
tanpa sepengetahuannya. Demikian pula si Anak Raja yang telah mengambil
selendang salah seorang bidadari tanpa sepengetahuan mereka, sehingga salah
seorang bidadari tidak bisa kembali ke Kahyangan.
Sebaliknya, Anak Raja harus ditinggal pergi oleh istrinya, Bidadari Bungsu, ketika si Bungsu menemukan selendangnya yang telah dicuri oleh suaminya itu. Itulah akibat dari perbuatan yang tidak dianjurkan ini.
Sebaliknya, Anak Raja harus ditinggal pergi oleh istrinya, Bidadari Bungsu, ketika si Bungsu menemukan selendangnya yang telah dicuri oleh suaminya itu. Itulah akibat dari perbuatan yang tidak dianjurkan ini.
Mengambil hak milik orang lain adalah termasuk sifat tercela. Bahkan dalam
ajaran sebuah agama disebutkan, mengambil dan memakan harta orang lain dengan
cara semena-mena, sama artinya dengan memakan harta yang haram. Ada banyak cara
yang dilakukan oleh seseorang untuk mengambil dan memakan harta orang lain
secara tidak halal, di antaranya mencuri, merampas, menipu, kemenangan judi,
uang suap, jual beli barang yang terlarang dan riba. Kecuali yang dihalalkan
adalah pengambilan dan pertukaran harta dengan jalan perniagaan dan jual-beli
yang dilakukan suka sama suka antara si penjual dan si pembeli, tanpa ada
penipuan di dalamnya.
Setiap agama menganjurkan kepada umatnya agar senantiasa menjunjung tinggi,
mengakui dan melindungi hak milik orang lain, asal harta tersebut diperoleh
dengan cara yang halal. Oleh karena itu, hendaknya jangan memakan dan mengambil
harta orang lain dengan jalan yang tidak halal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar